BAB 12
PENYELESAIAN SENGKETA
12.1 Pendahuluan
Pengertian Sengketa menurut Jhon
Collier adalah perselisihan khusus mengenai fakta, hukum atau kebijakan di mana
klaim atau pernyataan dari salah satu pihak bertemu dengan penolakan, gugatan
balik atau penolakan oleh orang lain.
Menurut Merrils, Pengertian
Sengketa ialah ketidaksepahaman mengenai sesuatu.
Pengertian Sengketa Internasional
adalah sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu
negara. Dalam hal ini sengketa internasional tidak hanya eksklusif menyangkut
hubungan antarnegara saja mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini
sudah mengalami perluasaan sedemikian rupa melibatkan banyak aktor non negara.
Sengketa dimulai ketika satu
pihak merasa dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak yang merasa dirugikan
menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan pihak kedua tsb
menunjukkan perbedaan pendapat maka terjadilah perselisihan atau sengketa.
Sedangkan, Permasalahan yang
disengketakan dalam suatu sengketa internasioanl dapat menyangkut banyak hal.
Sengketa di European Union menyangkut kebutuhan integritas politik yang lebih
kuat adalah sengketa menyangkut kebijakan. Sengketa perbatasan wilayah adalah
sengketa tentang legal right. Disisi lain sengketa juga dapat menyangkut fakta.
Di mana posisi kapal Negara A ketika diintersepsi oleh negara B merupakan salah
satu contoh sengketa mengenai fakta.
12.2 Cara-Cara Penyelesaian Sengketa
Alternative dispute resolution
(ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) merupakan upaya penyelesaian
sengketa di luar litigasi (non-litigasi). Dalam ADR/APS terdapat beberapa
bentuk penyelesaian sengketa. Bentuk-bentuk ADR/APS menurut Suyud Margono
(2000:28-31) adalah:
(1) konsultasi; (2) negosiasi;
(3) mediasi; (4) konsiliasi; (5) arbitrase; (6) good offices; (7) mini trial;
(8) summary jury trial; (9) rent a judge; dan (10) med arb .
Adapun Jacqueline M. Nolan-Haley
dalam bukunya yang berjudul “Alternative Dispute Resolution in A Nutshell,
menjelaskan bahwa ADR “is an umbrella term which refers generally to
alternatives to court adjudication of dispute such as negotiation, mediation,
arbitration, mini trial and summary jury trial”.
Bentuk ADR/APS dalam
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa adalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.
Tidak dijabarkan lebih lanjut pengertian dari masing-masing bentuk ADR/APS
tersebut dalam UU No.30/1999. Adapun, arbitrase dikeluarkan dari lingkup
ADR/APS dan diberikan definisi tersendiri dalam UU No.30/1999 yakni “cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa”.
Berikut pengertian umum dari
bentuk-bentuk ADR/APS yang dirangkum dari beberapa literatur sebagai berikut:
1. Konsultasi
Konsultasi adalah suatu tindakan
yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain
yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya
kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
Marwan dan Jimmy P, menjelaskan
arti konsultasi, sebagai berikut: “Permohonan nasihat atau pendapat untuk
menyelesaikan suatu sengketa secara kekeluargaan yang dilakukan oleh para pihak
yang bersengketa kepada pihak ketiga”. Dengan demikian dapat disimpulan bahwa
konsultasi adalah permintaan pendapat kepada pihak ketiga (konsultan) terkait
sengketa yang dihadapi.
2. Negosiasi
Negosiasi sebagai sarana bagi
para pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa
keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, sehingga tidak ada prosedur baku,
akan tetapi prosedur dan mekanismenya diserahkan kepada kesepakatan para pihak
yang bersengketa tersebut. Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para
pihak, sifatnya informal, yang dibahas adalah berbagai aspek, tidak hanya
persoalan hukum saja.
Dalam praktik, negosiasi
dilakukan karena 2 (dua) alasan, yaitu:
Untuk mencari sesuatu yang baru
yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual beli,
pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga, dalam hal
ini tidak terjadi sengketa dan untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang
timbul di antara para pihak[6]. Dengan demikian, dalam negosiasi, penyelesaian
sengketa dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak
ketiga sebagai penengah.
Segi Positif Dari Negosiasi :
1. Para pihak sendiri yang melakukan perundingan
(negosiasi) secara langsung dengan pihak lainnya.
2. Disamping itu para pihak memiliki kebebasan
untuk menentukan bagaimana penyelesaian secara negosiasi ini dilakukan menurut
kesepakatan mereka.
3. Para pihak mengawasi atau memantau secara
langsung prosedur penyelesaiannya.
4. Negosiasi menghindari perhatian publik dan
tekanan politik di dalam negeri.
5. Dalam Negosiasi, para pihak berupaya mencari
penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada
pihak yang menang dan kalah tetapi diupayakan kedua belah pihak menang (win-win
solution).
6. Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan untuk
setiap tahap penyelesaian sengketa dalam setiap bentuknya, apakah negosiasi
secara tertulis, lisan, bilateral, multilateral, dll.
Segi Negatif Dari Negosiasi :
1. Proses penyelesaian demikian tidak memungkinkan
fakta-fakta yang melingkupi suatu sengketa ditetapkan dengan objektif.
2. Cara penyelesaian seperti ini tidak dapat
menyelesaikan sengketa tertentu atau tidak dapat menjamin bahwa negosiasi akan
menyelesaikan sengketa karena salah satu pihak dapat saja bersikeras dengan
pendiriannya.
3. Tertutupnya keikutsertaan pihak ketiga untuk
menyelesaikan sengketa, khususnya apabila salah satu pihak berada dalam yang
lebih lemah.
3. Konsiliasi
Konsiliasi adalah penyelesaian
sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator), dimana konsiliator lebih
bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan
langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya ditawarkan kepada para pihak
yang bersengketa. Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan,
maka pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa. Meskipun
demikian konsiliator tidak berwenang membuat putusan, tetapi hanya berwenang
membuat rekomendasi, yang pelaksanaanya sangat bergantung pada itikad baik para
pihak yang bersengketa sendiri.
4. Mediasi
Pengertian mediasi adalah
penyelesaian sengketa dengan dibantu oleh pihak ketiga (mediator) yang
netral/tidak memihak. Peranan mediator adalah sebagai penengah (yang pasif)
yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian sengketa
untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh pihak yang bersengketa. Dalam
Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di
Pengadilan, mediasi diberikan arti sebagai cara penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh
mediator. Peran mediator membantu para pihak mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa dengan cara tidak memutus atau memaksakan pandangan atau
penilaian atas masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung.
Dalam hal mediasi, tugas lain
dari mediator adalah untuk melakukan hal-hal sbb:
1. Bertindak
sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi
2. Menemukan
dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi antarpihak, menyesuaikan
persepsi, dan berusaha mengurangi perbedaan sehingga menghasilkan satu
keputusan bersama.
5. Penilaian Ahli
Pendapat para ahli untuk suatu
hal yang bersifat teknis sesuai dengan bidang keahliannya.
6. Arbitrase
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun
1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan
umum yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh pihak yang
bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase
yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
atau setelah timbul sengeketa.
Suatu perjanjian arbitrase tidak
menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu keadaan seperti di bawah ini:
- Salah satu pihak meninggal
- Salah satu pihak bangkrut
- Pembaharuan utang (novasi)
- Salah satu pihak tidak mampu membayar (insolvensi)
- Pewarisan
- Berlakunya syarat hapusnya perikatan pokok
- Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tsb
- Berakhir atau batalnya perjanjian pokok
Dua jenis arbitrase:
1. Arbitrase ad hoc atau
arbitrase volunter
Arbitrase ini merupakan arbitrase
bersifat insidentil yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan
perselisihan tertentu. Kedudukan dan keberadaan arbitrase ini hanya untuk
melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu, setelah sengketa selesai
maka keberadaan dan fungsi arbitrase ini berakhir dengan sendirinya.
2. Arbitarse institusional
Arbitrase ini merupakan lembaga
permanen yang tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meski perselisihan
yang ditangani telah selesai.
Pemberian pendapat oleh lembaga
arbitrase menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya
ada yang bertentangan dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar
perjanjian, sehingga terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat
diajukan upaya hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan
putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung
sejak tanggal putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan
otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya
kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang
berupa akta pendaftaran.
Putusan arbitrase bersifat final,
dibubuhi pemerintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai
ketentuan pelaksanaan putusan dalam
perkara perdata yang keputusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat
para pihak, tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Dalam hal pelaksanaan keputusan
arbitrase internasional berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang
menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Sementara itu berdasarkan Pasal
66 UU Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui
serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum RI, jika telah memenuhi persyaratan
sbb:
- Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
- Putusan arbitrase internasaional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan
- Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum
- Putusan arbitrase internasonal dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Permohonan pembatalan putusan
arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari
terhitung sejak hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada
panitera pengadilan negeri dimana permohonan tsb diajukan kepada ketua
pengadilan negeri.
Terhadap putusan pengadilan
negeri dapat diajukan permohonan banding ke MA mempertimbangkan serta
memutuskan permohonan banding tsb diterima oleh MA.
7. Peradilan
Negara berhak memberikan
perlindungan dan penyelesaian bila terjadi suatu pelanggaran hukum. Untuk itu
negara menyerahkan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan
para pelaksananya, yaitu hakim.
Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2
Tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan
peadilan umum. Sementara itu berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004,
penyelenggara kekuasaan kehikaman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang
berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha
negara, dan oleh sebuah MK.
8. Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu
kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang umumnya mengenai perkara perdata dan
pidana. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peadilan umum dilaksanakan oleh :
1. Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri merupakan
pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kodya atau ibukota kabupaten
dan daerah hukumnya meliputi wilayah kodya dan kabupaten yang dibentuk dengan
keputusan presiden. Pengadilan negeri bertugas memeriksa, memutuskan, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.
2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan tinggi adalah
pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah provinsi yang dibentuk dengan undang-undang.
Tugas dan wewenang pengadilan
tinggi adalah mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding, di
tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan yang mengadili antar
pengadilan negeri di daerah hukumnya.
3. Mahkamah Agung (MA)
MA merupakan pengadilan negara
tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berkedudukan di ibukota negara
RI dan dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh
lain.
MA bertugas dan berwewenang
memeriksa dan memutus:
- Permohonan kasasi
- Sengketa tentang kewenangan mengadili
- Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam tingkat kasasi, MA
membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan
peradilan karena :
1. Tidak
berwenang atau melampaui batas wewenang
2. Salah
menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
3. Lalai
memenuhi syarat yg mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan ybs.
MA memeriksa dan memutus
permohonan peninjauan kembali (PK) pada tingkat pertama dan terakhir atas
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan
alasan yang diatur dalam perundang-undangan.
Permohonan PK dapat diajukan
hanya satu kali dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan
pengadilan. Permohonan PK dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal
sudah dicabut, permohonan PK tak dapat diajukan lagi.
Permohonan PK diajukan sendiri
oleh pemohon atau ahli warisnya kepada MA melalui ketua pengadilan negeri yang
memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang
diperlukan. Permohonan PK dapat dilakukan oleh wakil dari pihak yang berperkara
yang secara khusus dikuasakan dengan tenggang waktu pengajuan 180 hari.
Perbedaan antara
Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
Proses
|
Perundingan
|
Arbitrase
|
Ligitasi
|
Yang Mengatur
|
Para Pihak
|
Arbiter
|
Hakim
|
Proses
|
Informal
|
Agak Formal Sesuai
Dengan Rule
|
Sangat Formal Dan
Teknis
|
Jangka Waktu
|
Segera (3-6 Minggu)
|
Agak Cepat (3-6
Bulan)
|
Lama (>2 Tahun)
|
Biaya
|
Murah
|
Terkadang Sangat
Mahal
|
Sangat Mahal
|
Aturan Pembuktian
|
Tidak Perlu
|
Agak Informal
|
Sangat Formal &
Teknis
|
Publikasi
|
Konfidensial
|
Konfidensial
|
Terbuka Untuk Umum
|
Hubungan Para Pihak
|
Kooperatif
|
Anatgonistis
|
Antagonistis
|
Fokus Penyelesaian
|
Masa Depan
|
Masa Lalu
|
Masa Lalu
|
Metode Negosiasi
|
Kompromis
|
Sama Keras Pada
Prinsip Hukum
|
Sama Keras Pada
Prinsip Hukum
|
Komunikasi
|
Memperbaiki Yang
Sudah Lalu
|
Jalan Buntu
|
Jalan Buntu
|
Result
|
Win-Win
|
Win-Lose
|
Win-Lose
|
Pemenuhan
|
Sukarela
|
Selalu Ditolak Dan
Mengajukan Oposisi
|
Ditolak Dan Mencari
Dalih
|
Suasana Emosional
|
Bebas Emosi
|
Emosional
|
Emosi Bergejolak
|
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar