Sabtu, 23 Juni 2018

BAB 12 PENYELESAIAN SENGKETA


BAB 12
PENYELESAIAN SENGKETA
12.1 Pendahuluan
Pengertian Sengketa menurut Jhon Collier adalah perselisihan khusus mengenai fakta, hukum atau kebijakan di mana klaim atau pernyataan dari salah satu pihak bertemu dengan penolakan, gugatan balik atau penolakan oleh orang lain. 
Menurut Merrils, Pengertian Sengketa ialah ketidaksepahaman mengenai sesuatu.
Pengertian Sengketa Internasional adalah sengketa yang bukan secara eksklusif merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Dalam hal ini sengketa internasional tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antarnegara saja mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini sudah mengalami perluasaan sedemikian rupa melibatkan banyak aktor non negara.
Sengketa dimulai ketika satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain. Ketika pihak yang merasa dirugikan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua dan pihak kedua tsb menunjukkan perbedaan pendapat maka terjadilah perselisihan atau sengketa.
Sedangkan, Permasalahan yang disengketakan dalam suatu sengketa internasioanl dapat menyangkut banyak hal. Sengketa di European Union menyangkut kebutuhan integritas politik yang lebih kuat adalah sengketa menyangkut kebijakan. Sengketa perbatasan wilayah adalah sengketa tentang legal right. Disisi lain sengketa juga dapat menyangkut fakta. Di mana posisi kapal Negara A ketika diintersepsi oleh negara B merupakan salah satu contoh sengketa mengenai fakta.

12.2 Cara-Cara Penyelesaian Sengketa

Alternative dispute resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) merupakan upaya penyelesaian sengketa di luar litigasi (non-litigasi). Dalam ADR/APS terdapat beberapa bentuk penyelesaian sengketa. Bentuk-bentuk ADR/APS menurut Suyud Margono (2000:28-31) adalah: 

(1) konsultasi; (2) negosiasi; (3) mediasi; (4) konsiliasi; (5) arbitrase; (6) good offices; (7) mini trial; (8) summary jury trial; (9) rent a judge; dan (10) med arb .
Adapun Jacqueline M. Nolan-Haley dalam bukunya yang berjudul “Alternative Dispute Resolution in A Nutshell, menjelaskan bahwa ADR “is an umbrella term which refers generally to alternatives to court adjudication of dispute such as negotiation, mediation, arbitration, mini trial and summary jury trial”.

Bentuk ADR/APS dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Tidak dijabarkan lebih lanjut pengertian dari masing-masing bentuk ADR/APS tersebut dalam UU No.30/1999. Adapun, arbitrase dikeluarkan dari lingkup ADR/APS dan diberikan definisi tersendiri dalam UU No.30/1999 yakni “cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”.

Berikut pengertian umum dari bentuk-bentuk ADR/APS yang dirangkum dari beberapa literatur sebagai berikut:

1.     Konsultasi
Konsultasi adalah suatu tindakan yang bersifat “personal” antara suatu pihak tertentu (klien) dengan pihak lain yang merupakan pihak konsultan, dimana pihak konsultan memberikan pendapatnya kepada klien sesuai dengan keperluan dan kebutuhan kliennya.
Marwan dan Jimmy P, menjelaskan arti konsultasi, sebagai berikut: “Permohonan nasihat atau pendapat untuk menyelesaikan suatu sengketa secara kekeluargaan yang dilakukan oleh para pihak yang bersengketa kepada pihak ketiga”. Dengan demikian dapat disimpulan bahwa konsultasi adalah permintaan pendapat kepada pihak ketiga (konsultan) terkait sengketa yang dihadapi.

2.     Negosiasi
Negosiasi sebagai sarana bagi para pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan pihak ketiga sebagai penengah, sehingga tidak ada prosedur baku, akan tetapi prosedur dan mekanismenya diserahkan kepada kesepakatan para pihak yang bersengketa tersebut. Penyelesaian sengketa sepenuhnya dikontrol oleh para pihak, sifatnya informal, yang dibahas adalah berbagai aspek, tidak hanya persoalan hukum saja. 

Dalam praktik, negosiasi dilakukan karena 2 (dua) alasan, yaitu:
Untuk mencari sesuatu yang baru yang tidak dapat dilakukannya sendiri, misalnya dalam transaksi jual beli, pihak penjual dan pembeli saling memerlukan untuk menentukan harga, dalam hal ini tidak terjadi sengketa dan untuk memecahkan perselisihan atau sengketa yang timbul di antara para pihak[6]. Dengan demikian, dalam negosiasi, penyelesaian sengketa dilakukan sendiri oleh pihak yang bersengketa, tanpa melibatkan pihak ketiga sebagai penengah.

Segi Positif Dari Negosiasi :
1.  Para pihak sendiri yang melakukan perundingan (negosiasi) secara langsung dengan pihak lainnya.
2. Disamping itu para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana penyelesaian secara negosiasi ini dilakukan menurut kesepakatan mereka.
3.   Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaiannya.
4.   Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik di dalam negeri.
5.  Dalam Negosiasi, para pihak berupaya mencari penyelesaian yang dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada pihak yang menang dan kalah tetapi diupayakan kedua belah pihak menang (win-win solution).
6.  Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan untuk setiap tahap penyelesaian sengketa dalam setiap bentuknya, apakah negosiasi secara tertulis, lisan, bilateral, multilateral, dll.

Segi Negatif Dari Negosiasi :
1.   Proses penyelesaian demikian tidak memungkinkan fakta-fakta yang melingkupi suatu sengketa ditetapkan dengan objektif.
2.    Cara penyelesaian seperti ini tidak dapat menyelesaikan sengketa tertentu atau tidak  dapat menjamin bahwa negosiasi akan menyelesaikan sengketa karena salah satu pihak dapat saja bersikeras dengan pendiriannya.
3. Tertutupnya keikutsertaan pihak ketiga untuk menyelesaikan sengketa, khususnya apabila salah satu pihak berada dalam yang lebih lemah.

3.   Konsiliasi
Konsiliasi adalah penyelesaian sengketa dengan intervensi pihak ketiga (konsiliator), dimana konsiliator lebih bersifat aktif, dengan mengambil inisiatif menyusun dan merumuskan langkah-langkah penyelesaian, yang selanjutnya ditawarkan kepada para pihak yang bersengketa. Jika pihak yang bersengketa tidak mampu merumuskan suatu kesepakatan, maka pihak ketiga mengajukan usulan jalan keluar dari sengketa. Meskipun demikian konsiliator tidak berwenang membuat putusan, tetapi hanya berwenang membuat rekomendasi, yang pelaksanaanya sangat bergantung pada itikad baik para pihak yang bersengketa sendiri.

4.     Mediasi
Pengertian mediasi adalah penyelesaian sengketa dengan dibantu oleh pihak ketiga (mediator) yang netral/tidak memihak. Peranan mediator adalah sebagai penengah (yang pasif) yang memberikan bantuan berupa alternatif-alternatif penyelesaian sengketa untuk selanjutnya ditetapkan sendiri oleh pihak yang bersengketa. Dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, mediasi diberikan arti sebagai cara penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Peran mediator membantu para pihak mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa dengan cara tidak memutus atau memaksakan pandangan atau penilaian atas masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung.

Dalam hal mediasi, tugas lain dari mediator adalah untuk melakukan hal-hal sbb:
      1.      Bertindak sebagai fasilitator sehingga terjadi pertukaran informasi
    2.  Menemukan dan merumuskan titik-titik persamaan dari argumentasi antarpihak, menyesuaikan persepsi, dan berusaha mengurangi perbedaan sehingga menghasilkan satu keputusan bersama.

5.     Penilaian Ahli
Pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis sesuai dengan bidang keahliannya.

6.     Arbitrase
Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan perjanjian arbitrase secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. Perjanjian arbitrase merupakan kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum atau setelah timbul sengeketa.

Suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal walaupun disebabkan oleh suatu keadaan seperti di bawah ini:
  1. Salah satu pihak meninggal
  2. Salah satu pihak bangkrut
  3.  Pembaharuan utang (novasi)
  4. Salah satu pihak tidak mampu membayar (insolvensi)
  5. Pewarisan
  6. Berlakunya syarat hapusnya perikatan pokok
  7. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tsb
  8. Berakhir atau batalnya perjanjian pokok
Dua jenis arbitrase:

1. Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter
Arbitrase ini merupakan arbitrase bersifat insidentil yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan perselisihan tertentu. Kedudukan dan keberadaan arbitrase ini hanya untuk melayani dan memutuskan kasus perselisihan tertentu, setelah sengketa selesai maka keberadaan dan fungsi arbitrase ini berakhir dengan sendirinya.

2. Arbitarse institusional
Arbitrase ini merupakan lembaga permanen yang tetap berdiri untuk selamanya dan tidak bubar meski perselisihan yang ditangani telah selesai.

Pemberian pendapat oleh lembaga arbitrase menyebabkan kedua belah pihak terikat padanya. Apabila tindakannya ada yang bertentangan dengan pendapat tersebut maka dianggap melanggar perjanjian, sehingga terhadap pendapat yang mengikat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum atau perlawanan baik upaya hukum banding atau kasasi.
Sementara itu, pelaksanaan putusan arbitrase nasional dilakukan dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan. Dengan demikian, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri dan oleh panitera diberikan catatan yang berupa akta pendaftaran.

Putusan arbitrase bersifat final, dibubuhi pemerintah oleh ketua pengadilan negeri untuk dilaksanakan sesuai ketentuan  pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang keputusannya telah memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak, tidak dapat diajukan banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Dalam hal pelaksanaan keputusan arbitrase internasional berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 1999, yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Sementara itu berdasarkan Pasal 66 UU Nomor 30 Tahun 1999, suatu putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum RI, jika telah memenuhi persyaratan sbb:
  1. Putusan arbitrase internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan Negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional
  2. Putusan arbitrase internasaional terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan
  3. Putusan arbitrase internasional hanya dapat dilakukan di Indonesia dan keputusannya tidak bertentangan dengan ketertiban umum
  4. Putusan arbitrase internasonal dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekutor dari ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak hari pernyataan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri dimana permohonan tsb diajukan kepada ketua pengadilan negeri.

Terhadap putusan pengadilan negeri dapat diajukan permohonan banding ke MA mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding tsb diterima oleh MA.

7.     Peradilan
Negara berhak memberikan perlindungan dan penyelesaian bila terjadi suatu pelanggaran hukum. Untuk itu negara menyerahkan kekuasaan kehakiman yang berbentuk badan peradilan dengan para pelaksananya, yaitu hakim.

Pengadilan berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1986 adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peadilan umum. Sementara itu berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 4 Tahun 2004, penyelenggara kekuasaan kehikaman dilakukan oleh MA dan badan peradilan yang berbeda di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, dan oleh sebuah MK.

8.     Peradilan Umum
Peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang umumnya mengenai perkara perdata dan pidana. Kekuasaan kehakiman di lingkungan peadilan umum dilaksanakan oleh :

1. Pengadilan Negeri
Pengadilan negeri merupakan pengadilan tingkat pertama yang berkedudukan di kodya atau ibukota kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah kodya dan kabupaten yang dibentuk dengan keputusan presiden. Pengadilan negeri bertugas memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama.

2. Pengadilan Tinggi
Pengadilan tinggi adalah pengadilan tingkat banding yang berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi yang dibentuk dengan undang-undang.

Tugas dan wewenang pengadilan tinggi adalah mengadili perkara pidana dan perdata di tingkat banding, di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan yang mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.

3. Mahkamah Agung (MA)
MA merupakan pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang berkedudukan di ibukota negara RI dan dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lain.
MA bertugas dan berwewenang memeriksa dan memutus:
  • Permohonan kasasi
  • Sengketa tentang kewenangan mengadili
  • Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam tingkat kasasi, MA membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan karena :
1.       Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang
2.       Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku
3.       Lalai memenuhi syarat yg mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan ybs.

MA memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali (PK) pada tingkat pertama dan terakhir atas putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan yang diatur dalam perundang-undangan.

Permohonan PK dapat diajukan hanya satu kali dan tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan. Permohonan PK dapat dicabut selama belum diputus dan dalam hal sudah dicabut, permohonan PK tak dapat diajukan lagi.

Permohonan PK diajukan sendiri oleh pemohon atau ahli warisnya kepada MA melalui ketua pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang diperlukan. Permohonan PK dapat dilakukan oleh wakil dari pihak yang berperkara yang secara khusus dikuasakan dengan tenggang waktu pengajuan 180 hari.

Perbedaan antara Perundingan, Arbitrase, dan Ligitasi
Proses
Perundingan
Arbitrase
Ligitasi
Yang Mengatur
Para Pihak
Arbiter
Hakim
Proses
Informal
Agak Formal Sesuai Dengan Rule
Sangat Formal Dan Teknis
Jangka Waktu
Segera (3-6 Minggu)
Agak Cepat (3-6 Bulan)
Lama (>2 Tahun)
Biaya
Murah
Terkadang Sangat Mahal
Sangat Mahal
Aturan Pembuktian
Tidak Perlu
Agak Informal
Sangat Formal & Teknis
Publikasi
Konfidensial
Konfidensial
Terbuka Untuk Umum
Hubungan Para Pihak
Kooperatif
Anatgonistis
Antagonistis
Fokus Penyelesaian
Masa Depan
Masa Lalu
Masa Lalu
Metode Negosiasi
Kompromis
Sama Keras Pada Prinsip Hukum
Sama Keras Pada Prinsip Hukum
Komunikasi
Memperbaiki Yang Sudah Lalu
Jalan Buntu
Jalan Buntu
Result
Win-Win
Win-Lose
Win-Lose
Pemenuhan
Sukarela
Selalu Ditolak Dan Mengajukan Oposisi
Ditolak Dan Mencari Dalih
Suasana Emosional
Bebas Emosi
Emosional
Emosi Bergejolak






DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Product - My Pro D-1310