Sabtu, 23 Juni 2018

BAB 10 ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT


BAB 10
ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT

10.1 Pengertian dari Anti Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat

“Antitrust” untuk pengertian yang sepadan dengan istilah “anti monopoli” atau istilah “dominasi” yang dipakai masyarakat Eropa yang artinya juga sepadan dengan arti istlah “monopoli” Disamping itu terdapat istilah yang artinya hampir sama yaitu “kekuatan pasar”. Dalam praktek keempat kata tersebut, yaitu istilah “monopoli”, “antitrust”, “kekuatan pasar” istilah “dominasi” saling dipertukarkan pemakaiannya.

Keempat istilah tersebut dipergunakan untuk menunjukkan suatu keadaan dimana seseorang menguasai pasar ,dimana dipasar tersebut tidak tersedia lagi produk subtitusi yang potensial, dan terdapatnya kemampuan pelaku pasar tersebut untuk menerapkan harga produk tersebut yang lebih tinggi, tanpa mengikuti hukum persaingan pasar atau hukum tentang permintaan dan penawaran pasar.

Persaingan usaha tidak sehat maksudnya dimana suatu perusahaan melakukan suatu usaha dengan tidak sehat bisa dengan cara mengurangi bahan produksinya untuk memperoleh lebih banyak keuntungan tanpa memikirkan konsumennya yang ia mau hanyalah suatu perusahaan yang ia dirikan menjadi lebih profit dibanding sebelumnya.

Pengertian Praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat menurut UU no.5 Tahun 1999 tentang Praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa tertentu sehingga menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
Terdapat dua teori yang terdapat dalam hukum anti monopoli, yaitu:
a.    Teori Perse, teori yang melarang monopoli an sich, tanpa melihat apakah ada ekses negatifnya. Beberapa bentuk kartel, monopoli dan persaingan usaha tidak sehat harus dianggap dengan sendirinya bertentangan dengan hukum. Titik beratnya adalah unsur formal dari perbuatan tersebut.
b.    Teori Rule of Reason, teori ini melarang kartel dan monopoli jika dapat dibuktikan bahwa ada ekses negatifnya.

10.2 Azas dan Tujuan

Azas
Pelaku usaha di Indonesia dalam menjalankan kegiatan usahanya berasaskan demokrasi ekonomi dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pelaku usaha dan kepentingan umum.

Tujuan
Undang-Undang (UU) persaingan usaha adalah Undang-undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No.5/1999) yang bertujuan untuk memelihara pasar kompetitif dari pengaruh kesepakatan dan konspirasi yang cenderung mengurangi dan atau menghilangkan persaingan. Kepedulian utama dari UU persaingan usaha adalah promoting competition dan memperkuat kedaulatan konsumen.

Tujuan yang terkandung di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, adalah sebagai berikut :
  1. Menjaga kepentingan umum dan meningkatkan efisiensi ekonomi nasional sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.
  2. Mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui pengaturan persaingan usaha yang sehat, sehingga menjamin adanya kepastian kesempatan berusaha yang sama bagi pelaku usaha besar, pelaku usaha menengah, dan pelaku usaha kecil.
  3. Mencegah praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat yang ditimbulkan oleh pelaku usaha.
  4. Terciptanya efektifitas dan efisiensi dalam kegiatan usaha.

10.3 Kegiatan yang dilarang

Menurut pasal 33 ayat 2 “ Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.” Jadi, sektor-sektor ekonomi seperti air, listrik, telekomunikasi, kekayaan alam dikuasai negara tidak boleh dikuasai swasta sepenuhnya.Kegiatan yang dilarang lainnya dalam anti monpoli dan persaingan usaha tidak sehat antara lain :

1.     Monopoli
Adalah penguasaan atas produksi dan atau pemasaran barang dan atau atas penggunaan jasa tertentu oleh satu pelaku usaha atau satu kelompok pelaku usaha

2.     Monopsoni
Adalah situasi pasar dimana hanya ada satu pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang menguasai pangsa pasar yang besar yang bertindak sebagai pembeli tunggal,sementara pelaku usaha atau kelompok pelaku usaha yang bertindak sebagai penjual jumlahnya banyak.

3.     Penguasaan pasar
Di dalam UU no.5/1999 Pasal 19,bahwa kegiatan yang dilarang dilakukan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya penguasaan pasar yang merupakan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat yaitu :
a.     Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar yang bersangkutan;
b.   Menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya;
c.      Membatasi peredaran dan atau penjualan barang dan atau jasa pada pasar bersangkutan;
d.      Melakukan praktik diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu.

4.     Persekongkolan
Kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol (pasal 1 angka 8 UU No.5/1999).

5.     Posisi Dominan
Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 menyebutkan posisi dominan merupakan suatu keadaan dimana pelaku usaha tidak mempunyai pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan pangsa yang dikuasai atau pelaku usaha mempunyai posisi tertinggi diantara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan kemampuan keuangan.

6.     Jabatan Rangkap
Pasal 26 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa seorang yang menduduki jabatan sebagai direksi atau komisaris dari suatu perusahaan, pada waktu yang bersamaan dilarang merangkap menjadi direksi atau komisaris pada perusahaan lain.

7.     Pemilikan Saham
Pasal 27 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang memiliki saham mayoritas pada beberapa perusahaan sejenis, melakukan kegiatan usaha dalam bidang sama pada saat bersangkutan yang sama atau mendirikan beberapa perusahaan yang sama.

10.4 Perjanjian yang Dilarang 

Jika dibandingkan dengan pasal 1313 KUH Perdata, UU No.5/199 lebih menyebutkan secara tegas pelaku usaha sebagai subyek hukumnya, dalam undang-undang tersebut, perjanjian didefinisikan sebagai suatu perbuatan satu atau lebih pelaku usaha untuk mengikatkan diri terhadap satu atau lebih pelaku usaha lain dengan nama apapun, baik tertulis maupun tidak tertulis . Hal ini namun masih menimbulkan kerancuan. Perjanjian dengan ”understanding” apakah dapat disebut sebagai perjanjian.

Perjanjian yang lebih sering disebut sebagai tacit agreement ini sudah dapat diterima oleh UU Anti Monopoli di beberapa negara, namun dalam pelaksanaannya di UU No.5/1999 masih belum dapat menerima adanya ”perjanjian dalam anggapan” tersebut. Sebagai perbandingan dalam pasal 1 Sherman Act yang dilarang adalah bukan hanya perjanjian (contract), termasuk tacit agreement tetapi juga combination dan conspiracy. Jadi cakupannya memang lebih luas dari hanya sekedar ”perjanjian” kecuali jika tindakan tersebut—collusive behaviour—termasuk ke dalam kategori kegiatan yang dilarang dalam bab IV dari Undang-Undang Anti Monopoli . Perjanjian yang dilarang dalam UU No.5/1999 tersebut adalah perjanjian dalam bentuk sebgai berikut :

1.     Oligopoli Pasar
Dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1999, oligopoli dikelompokkan ke dalam kategori perjanjian yang dilarang, padahal umumnya oligopoli terjadi melalui keterkaitan reaksi, khususnya pada barang-barang yang bersifat homogen atau identik dengan kartel.
2.     Penetapan harga
Dalam penetapan harga  harus sama ditentukan oleh pasar agar harganya sama.
3.     Pembagian wilayah
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya yang bertujuan untuk membagi wilayah pemasaran atau alokasi pasar terhadap barang dan atau jasa sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
4.     Pemboikotan
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri.
5.     Kartel
Kelompok produsen independen yang bertujuan menetapkan harga, untuk membatasi suplai dan kompetisi.
6.     Trust
Bertujuan untuk mengontrol produksi dan atau pemasaran atas barang dan atau jasa, sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.
7.     Oligopsoni
Keadaan dimana dua atau lebih pelaku usaha menguasai penerimaan pasokan atau menjadi pembeli tunggal atas barang dan/atau jasa dalam suatu pasar komoditas.
8.     Integrasi vertikal
Bertujuan untuk menguasai produksi sejumlah produk yang termasuk dalam rangkaian produksi barang dan atau jasa.
9.     Perjanjian tertutup
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa hanya akan memasok atau tidak memasok kembali barang dan atau jasa tersebut kepada pihak tertentu dan atau pada tempat tertentu.
10.  Perjanjian dengan pihak luar negeri
Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain di luar negeri yang memuat ketentuan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat.

10.5 Hal-hal yang dikecualikan dalam UU Anti Monopoli. 

Di dalam Undang-Undang Anti Monopoli Nomor 5 Tahun 1999,terdapat hal-hal yang dikecualikan,yaitu :
Pasal 50
  1. Perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku
  2. Perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba
  3. Perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan
  4. Perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah daripada harga yang telah diperjanjikan
  5. Perjanjian kerja sama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas
  6. Perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia
  7. Perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri
  8. Pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil
  9. Kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
      Pasal 51
Monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah.

10.6 Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU)

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang dibentuk untuk memenuhi amanat Undang-Undang no. 5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.

·         Keberadaan KPPU diharapkan menjamin hal-hal berikut di masyarakat:
·         Konsumen tidak lagi menjadi korban posisi produsen sebagai price taker
·         Keragaman produk dan harga dapat memudahkan konsumen menentukan pilihan
·         Efisiensi alokasi sumber daya alam
·        Konsumen tidak lagi diperdaya dengan harga tinggi tetapi kualitas seadanya, yang lazim ditemui pada pasar monopoli
·         Kebutuhan konsumen dapat dipenuhi karena produsen telah meningkatkan kualitas dan layanannya
·         Menjadikan harga barang dan jasa ideal, secara kualitas maupun biaya produksi
·         Membuka pasar sehingga kesempatan bagi pelaku usaha menjadi lebih banyak
·         Menciptakan inovasi dalam perusahaan

KPPU bertanggung jawab langsung kepada presiden, selaku kepala negara. KPPU terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan sekurang-kurangnya 7 orang anggota lainnya. Ketua dan wakil ketua komisi dipilih dari dan oleh anggota komisi. Anggota KPPU ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Masa jabatan anggota KPPU hanya 2 periode, dengan masing-masing periode selama 5 tahun. Apabila karena berakhirnya masa jabatan menyebabakan kekosongan dalam keanggotaan komisi, maka masa jabatan anggota baru dapat diperpanjang sampai pengangkatan anggota baru.

Syarat menjadi anggota KPPU :
·      Warga negara republik indonesia, berusaha sekurang-kurangnya 30 tahun setinggi-tingginya 60 tahun pada saat pengangkatan
·         Setia pada pancasila dan undang-undang dasar 1945
·         Beriman dan bertaqwa kepada ketuhanan yang maha esa.
·         Jujur, adil dan berkelakuan baik
·         Bertempat tinggal di wilayah negara republik indonesia
·         Berpengalaman dalam bidang usaha atau mempunyai pengetahuan dan keahlian di bidang hukum dan atau ekonomi
·      Tidak pernah dipidana karena melakukan kejahatan berat atau kerena melakukan pelanggaran kesusilaan
·         Tidak pernah dinyatakan pailit oleh pengadilan
·         Tidak terefaliasi dengan suatu badan usaha

Tugas dan wewenang KPPU

Tugas dan wewenang KPPU di atur dalam ketentuan pasal 35, yang dikatakan bahwa tugas komisi meliputi:
  • Melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
  • Melakukan penilaian  terhadap kegiatan usaha dan atau  tidak pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat
  • Melakukan penilaian terhadap ada dan tidak adanya penyalah gunaan posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan tidak sehat
  • Mangambil tindakan dengan wewenangnya
  • Memberikan saran pertimbangan terhadap komisi kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
  • Menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan undang-undang ini
  • Memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja komisi kepada presiden dan dewan perwakilan rakyat.

Tata cara penanganan perkara oleh KPPU

1. Pemeriksaan oleh KPPU
Pasal 39 ayat 1 UU mewajibkan KPPU untuk berdasarkan laporan yang telah di sampaikan tersebut, melakukan pemeriksaan pendahuluan. Dari hasil pemeriksaan pendahuluan tersebut, dalam jangka waktu selambat-lambatnya 30 hari terhitung sejak KPPU menerimah laporan tersebut, KPPU  wajib menetapkan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lanjutan. Alat-alat bukti pemeriksaan KPPU berupa:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
c. Surat dan atau dokumen
d. Petunjuk
e. Keterangan pelaku usaha

2. Putusan KPPU
Putusan KPPU harus dibacakan dalam suatu bidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera diberitahukan kepada pelaku usaha. Pelaku usaha yang menerima pemberitahuan tersebut dapat mengajukan keberatan atas putusan KPPU.

3. Keberatan atas putusan KPPU dan pelaksaan putusan KPPU
Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan atas KPPU dan pelaksaan putusan KPPU, dalam jangka 14 hari setelah pemberitahuan dianggap telah menerima keputusan KPPU, dan keputusan KPPU tersebut akan berlaku sebagai keputusan pada tingkat akhir (final) dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Sebagai konsekuensinya, putusan tersebut bersifat eksekutorial (putusan tersebut dapat dimintakan pelaksanaan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri). Selanjutnya undang-undang menentukan bahwa dalam 30 hari terhitung sejak pelaku usaha menerima pemberitahuan putusan KPPU, pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaannya kepada KPPU. 

4. Keberatan atas putusan KPPU
Pelaku usaha yang tidak menerima putusan KPPU dapat mengajukan keberatan kepada Pengadikan Negeri selambat-lambatnya 14 hari setelah pemberitahuan putusan tersebut diterima. Pengadilan Negeri harus memeriksa keberatan yang diajukan oleh pelaku usaha dalam waktu 14 haru sejak diterimanya keberatan tersebut, dan harus memberikan putusan dalam waktu 30 hari sejak dimulainya pemeriksaan keberatan tersebut. 

10.7 Sanksi

Sanksi Administrasi Sanksi administrasi adalah dapat berupa penetapan pembatasan perjanjian, pemberhentian integrasi vertikal, perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan posisi dominan, penetapan pembatalan atas penggabungan , peleburan dan pengambilalihan badan usaha, penetapan pembayaran ganti rugi, penetapan denda serendah-rendahnya satu miliar rupiah atau setinggi-tingginya dua puluh lima miliar rupiah.

Sanksi Pidana Pokok dan Tambahan Sanksi pidana pokok dan tambahan adalah dimungkinkan apabila pelaku usaha melanggar integrasi vertikal, perjanjian dengan pihak luar negeri, melakukan monopoli, melakukan monopsoni, penguasaan pasar, posisi dominan, pemilikan saham, penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan dikenakan denda minimal dua piluh lima miliar rupiah dan setinggi-tingginya seratus miliar rupiah, sedangkan untuk pelanggaran penetapan harga, perjanjian tertutup, penguasaan pasar dan persekongkolan, jabatan rangkap dikenakan denda minimal lima miliar rupiah dan maksimal dua puluh lima miliar rupiah.

Sementara itu, bagi pelaku usaha yang dianggap melakukan pelanggaran berat dapat dikenakan pidana tambahan sesuai dengan pasal 10 KUH Pidana berupa :

Pencabutan izin usaha, larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya dua tahun dan selama-lamanya lima tahun, Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian pada pihak lain.Sanksi dalam anti  Monopoli diatur dalan pasal 36 , pasal 48 serta pasal 49 yang mempunyai arti:

Pasal 36 UU Anti Monopoli, salah satu wewenang KPPU adalah melakukan penelitian, penyelidikan dan menyimpulkan hasil penyelidikan mengenai ada tidaknya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Masih di pasal yang sama, KPPU juga berwenang menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar UU Anti Monopoli.

Pasal 48:
  • Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 4, Pasal 9 sampai dengan Pasal 14, Pasal 16 sampai dengan Pasal 19, Pasal 25, Pasal 27, dan Pasal 28 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp100.000.000.000 (seratus miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 6 (enam) bulan.
  • Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 5 sampai dengan Pasal 8, Pasal 15, Pasal 20 sampai dengan Pasal 24, dan Pasal 26 Undang-Undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp5.000.000.000 ( lima miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp25.000.000.000 (dua puluh lima miliar rupialh), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 5 (lima) bulan.
  • Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 Undang-undang ini diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan. 
Pasal 49

Dengan menunjuk ketentuan Pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terhadap pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 48 dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: Pencabutan izin usaha, Larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran terhadap undang-undang ini untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun, Penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan timbulnva kerugian pada pihak lain. Aturan ketentuan pidana di dalam UU Anti Monopoli menjadi aneh lantaran tidak menyebutkan secara tegas siapa yang berwenang melakukan penyelidikan atau penyidikan dalam konteks pidana.

DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

New Product - My Pro D-1310